Rabu, 25 November 2015

Ilmu Budaya Dasar

1.      Budaya Berbahasa Indonesia di Masyarakat
Bahasa Indonesia yang berperan sebagai bahasa persatuan dan bahasa resmi di wilayah Republik Indonesia sudah mulai diminati oleh penutur asing untuk dipelajari. Di luar negeri, telah banyak universitas-universitas dan lembaga pendidikan yang mengajarkan bahasa Indonesia kepada para mahasiswanya. Berdasarkan data yang tercatat di Pusat Bahasa, Bahasa Indonesia telah diajarkan kepada orang asing di berbagai lembaga, baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri misalnya, saat ini tercatat tidak kurang dari 76 lembaga yang telah mengajarkan Bahasa Indonesia kepada penutur asing, baik di perguruan tinggi, sekolah maupun di lembaga-lembaga kursus.Sebagaimana sumpah pemuda 28 Oktober 1928, lahirlah kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, juga sebagai jati diri bangsa serta alat pemersatu yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang beragam budaya dan suku dengan bahasa daerah mereka masing-masing hingga dapat berkomunikasi dengan lancar dari satu orang ke orang lain yang berbeda suku pula.
Namun mirisnya, bahasa Indonesia tidak lagi menjadi populer di kalangan masyarakat, terutama muda-mudi Indonesia saat ini. Malah Bahasa Indonesia yang benar terdengar begitu kolot di telinga mereka. Bahasa Indonesia kini mulai ditinggalkan perlahan-lahan. Dipaksa gulung tikar oleh bahasa gaul atau bahasa alay yang kini tengah menggurita. 
Bahasa kini banyak yang dipelintir, baik itu cara membaca atau hurufnya. Misalnya kata aku atau saya sekarang lebih populer dengan kata gue, atau frasa apa saja boleh—yang kini tengah hangat di kota Medan sebagai jawaban dari apa saja yang ditanya—dipelintir menjadi apa aja boyeh. Frasa ini dianggap sebagai suatu jawaban paling sederhana bagi kaula muda karena tidak mau berpikir rumit, sebagaimana ditulis Yulhasni penulis spesial bidang sastra dan budaya. Kata kita juga sering digunakan untuk menyatakan kami, padahal kami dan kita memiliki makna yang berbeda.
Di era globaisasi seperti sekarang ini, bahasa Indonesia mendapat saingan berat dari bahasa Inggris karena semakin banyaknya orang yang belajar serta menggunakan bahasa Inggris dalam keperluan komunikasi lisan ataupun tulisan. Hal ini memang berpengaruh positif, yaitu dapat mempercepat pengembangan IPTEK. Namun harus disadari pula, bahwa kalau ingin belajar bahasa Inggris, jangan lupa untuk mempelajari bahasa Indonesia terlebih dahulu.

2.      Budaya membuang sampah sembarangan

Satu hal yang diajarkan sejak umur dini sampai tuapun masih saja banyak yang menyepelekannya. Kita dari kecil diajarkan apa itu tempat sampah, yaitu tempat untuk meletakkan sampah kita, sehingga ada tempat untuk sampah agar tidak tercecer di tempat yang bukan semestinya. Tapi apa yang saya lihat di kenyataan sekarang ini, jauh dari kata penerapan edukasi. Sepertinya pelajaran membuang sampah pada tempatnya hanya berlaku di bangku sekolah saja, tidak berlaku dan diterapkan di lain tempat.
Padahal masyarakat tahu betul dampak buruk dari tindakan membuang sampah sembarangan, selain merusak pemandangan juga menimbulkan bencana banjir bahkan dari bencana ini bisa merenggut nyawa seseorang, misalnya tenggelam, atau karena penyakit yang ditimbulkan karena kotornya lingkungan dampak dari banjir. Dengan adanya bukti dan fakta seperti ini pun juga tidak menyadarkan masyarakat akan kesadaran diri peduli terhadap lingkungan, dimulai dari membuang sampah pada tempat sampah.
Membuang sampah pada tempatnya merupakan sesuatu yang harus dibiasakan agar menjadi suatu kebiasaan baik, kalau memang belum dibiasakan dan menyadari arti pentingnya, seseorang belum akan aware untuk membuang sampah mereka pada tempatnya. Saya sadari betul ini merupakan tindakan sederhana namun sulit dalam pencapaian aktualnya. Tindakan membuang sampah pada tempatnya yang harusnya menjadi budaya, malah sebaliknya, buang sampah sembarangan menjadi budaya masyarakat sekarang. Mereka hanya berteriak ke pemerintah setempat karena kawasannya banjir, kawasannya kumuh, kotor banyak terjangkit penyakit. 

3.      Budaya Menyontek

Menyontek bukanlah penyakit akut yang 'ujug-ujug' datang dan menjangkiti pelajar di Indonesia. Kebiasaan menyontek sudah ada sejak dahulu. Jika kebiasaannya bagus, mungkin bisa dilanjutkan. Tetapi menyontek bukanlah budaya bangsa yang beradab, karena menyontek merugikan orang lain.
Secara langsung, menyontek merampas hak orang lain yang sudah berbuat jujur. Namun sayang, menyontek semakin menjamur dan boleh dibilang sudah menjadi penyakit budaya di negeri ini. Penyakit budaya yang kronis yang sebenarnya kemunculannya bukan baru-baru ini. Tetapi menyontek itu suatu penyakit yang kronis yang sudah sejak jaman dulu. Susahnya menyembuhkan penyakit kronis ini adalah menghilangkan akarnya.
Karena sumber penyakit menyontek bukan virus dan bukan bakteri yang bisa saja diguyur obat langsung mati. Tetapi penyakit menyontek penyebabnya adalah manusia, yang tidak bisa semudah itu dimusnahkan namun jika tidak dimusnahkan akan menjamur. Jadi solusinya adalah membunuh pemikiran manusianya. Kalaupun tidak bisa dimusnahkan, setidaknya bisa dieliminir sedikit demi sedikit. Siapa mengeliminir penyakit nyontek? Ditelusuri lagi, siapa dan apa sebabnya berbuat curang.
 Siapa yang menyontek? Jelas, yang menyontek adalah siswa atau mahasiswa. Tidak semua siswa atau mahasiswa yang mau menyontek. Ada yang bilang mereka yang tidak percaya diri yang melakukannya. Bisa jadi pernyataan ini benar. Banyak contohnya masalah ini. Namun percaya diri saja tidak cukup. Pandangan hidup yang dipegang teguh si anak juga sangat mempengaruhinya. Ada tidak percaya diri atau menyadari dirinya tidak mampu secara akademik. Tetapi karena yakin bahwa berbuat curang itu dilarang dalam agamanya dan dia meyakini ada Yang Maha Mengetahui dan yakin ada yang Maha Menolong, bisa dipastikan curang tidak akan dia lakukan. Meskipun resikonya akan tidak lulus. Kenyataannya, ternyata pelaku curang itu tidak hanya siswa saja. Guru juga ikut serta. Untuk yang satu ini saya tidak habis pikir bagaimana seorang guru, orang yang bisa digugu dan ditiru, ternyata mengajarkan curang kepada siswanya. Atau, jangan-jangan sang guru juga suka menyontek ketika dulunya menjadi pelajar, sehingga dengan mudahnya berbuat curang. Bukan rahasia lagi jika ada guru yang sekolah di universitas ternyata juga nyontek. Pun bukan rahasia lagi jika ada seorang guru yang supaya lulus, skripsinya bukan hasil karyanya. Melihat yang seperti ini, tidak heran jika kemudian ketika menjadi guru mengajari siswanya untuk mencontek. Ada lagi 'agen' yang diduga sumber kecurangan. Bimbingan belajar. Masalah ini bukan rahasia lagi. Guru mengajar di Bimbel, memberi latihan, ketika ulangan harian soal dikeluarkan lagi. Ternyata model guru yang saya ceritakan ketika saya SD masih ada juga di kota.
 Mengapa mereka menyontek atau berbuat curang? Satu kata saja, 'tuntutan' yang membuat mereka berbuat curang.  Tuntutan mendapat nilai bagus dan tuntutan agar siswanya mendapat nilai bagus inilah yang sebenarnya menjadi masalah. Jika dijabarkan lagi, sumber tuntutan dilihat dari perspektif si anak yang menyontek, tuntutan bisa dari keluarga, guru atau pihak sekolah, masyarakat dan negara. Orangtua menuntut nilai sekolah anak harus tinggi. Mungkin sudah lumrah meski tidak bisa dibenarkan. Ambisi orangtua atau harapan orang tua supaya anaknya berhasil bisa jadi sebuah tuntutan yang memberatkan si anak. Oleh karenanya, sebaiknya orangtua juga introspeksi diri dulu sebelum menuntut anaknya. Apakah dulu ketika muda kemampuannya sama dengan si anak? Jika tidak, harusnya bisa lebih memahami kemampuan anak. Sebaliknya, jika kemampuan anak memang tidak seperti orangtuanya ketika di waktu muda, tanyakan ke pasangan kita apakah kondisinya sama dengan anak atau lebih baik. Jika sama, harusnya memaklumi. Apabila tidak, bukan berarti kemudian layak untuk menuntut, tetapi segera mencari cara bersama agar keluarga bisa memberi dukungan supaya si anak lebih baik. Dan yang jelas, solusinya juga harus mengedepankan kejujuran sehingga anak juga akan memiliki karakter jujur. Jika yang menuntut nilai bagus itu guru atau pihak sekolah, mungkin juga masih bisa dimaklumi.
Tetapi tidak selayaknya seorang guru memiliki tuntutan agar siswa/mahasiswanya mendapatkan nilai tinggi. Kewajiban guru/dosen hanyalah mendidik dan mentrafser ilmunya dengan sabar supaya siswa/mahasiswa bisa memahami. Apabila ternyata siswa/mahasiswa nilainya jelek, ajak bicara baik-baik. Jadikan siswa/mahasiswa yang nilainya jelek itu menjadi manusia yang tetap dihormati hingga mereka tidak patah semangat dan akhirnya mengambil jalan pintas dengan cara menyontek. Lebih penting lagi, beri apresiasi yang tinggi pada anak yang sudah berbuat jujur. Dengan cara ini, anak-anak yang berkemampuan rendah, tidak akan malu jika nilainya jelek. Jika masyarakat yang menuntut anak memiliki nilai bagus, sepertinya mereka tidak layak menghukumi anak-anak yang nilainya jelek. Tetapi memang agak sulit menghentikan tuntutan masyarakat. Karena merekalah yang menciptakan sistem nilai itu. Nilai jika anak nilai NEMnya jelek dianggap bodoh dan tidak bermanfaat di masyarakat.
Masyarakat hanya berorientasi kepada nilai akademik, tidak naik kelas, dan kelulusan saja. Tekanan masyarakat untuk menjadi anak baik dan anak manis yang baik-baik saja di sekolah mungkin perlu dibenahi. Seharusnya tidak hanya menuntut anak baik, rajin belajar, tetapi juga anak yang perilakunya baik, termasuk di dalamnya jujur. Sering kan kita dengar, "Si Fulan itu pulangnya malam. tapi dia juara kelas lho". Selesai, pulang malampun tidak jadi masalah karena juara kelas. Ini kondisi kita saat ini. Bagaimana jika negara yang menuntut agar siswa memiliki nilai bagus. Sepertinya negara perlu introspeksi diri.
Sudahkah memberikan yang terbaik bagi anak negeri? Tidak hanya menyediakan sekolah saja, tetapi menyediakan lingkungan yang baik, yang aman, nyaman, tentram bagi anak-anak sehingga mereka terjauh dari segala tindakan yang tidak kita inginkan. Jika sudah layak negara ini menuntut apa-apa kepada anak bangsa. Tetapi jika masih banyak sekolah yang roboh, masih banyak anak yang berada di lingkungan buruk, masih banyak anak yang dibiarkan melihat kejahatan karena negara sudah tidak mampu lagi menciptakan rasa aman dan nyaman bagi warga negaranya, jangan pernah berharap warga negaranya menjadi oang yang bermoral baik. 


4.      Budaya Merokok di Indonesia

Merokok merupakan hal yang wajar di Indonesia. Hal ini dikarenakan selain harga yang sangat terjangkau, rokok juga mudah dibeli baik itu di supermarket maupun di pedagang kaki lima yang biasa berjualan di sepanjang jalan. Masyarakat Indonesia cenderung tidak mau tahu akan bahaya rokok itu sendiri padahal sudah jelas tertulis di bungkus rokok tersebut “Merokok dapat menyebabkan………………….”.
Di Indonesia sendiri rokok sudah menjadi tren yang tidak pernah luput dari pengamatan. Bahkan seorang balita umur 2 tahun menghebohkan berita internasional karena kedapatan merokok dengan sepengetahuan orang tuanya dan tidak ada tindakan pencegahan. Ketika yang seharusnya rokok dikonsumsi oleh kalangan 18 tahun ke atas, tetapi banyak remaja yang sudah merokok yang umurnya belum mencapai 18 tahun.
Tindakan pencegahan/pembatasan produksi rokok dalam negeri yang dilakukan oleh pemerintah di nilai tidak efektif. Hal ini dikarenakan produsi rokok dalam negeri banyak mendatangkan devisa bagi negara. Selain itu, apabila perusahaan rokok dalam negeri ditutup, maka akan menimbulkan pengangguran dalam jumlah yang sangat besar sehingga angka pengangguran akan naik dan inilah yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia.

5.      Budaya Macet

Seperti yang telah kita ketahui di saat ini peristiwa kemacetan seakan-akan menjadi sebuah budaya yang sulit terhindarkan khusus nya untuk negara Indonesia ini.Mungkin perlu adanya sebuah gerakan atau tindakan untuk mengurangi kemacetan ini karna dampak yang akan terjadi akibat kemacetan ini juga tidak hanya pada kondisi fisik dari pengguna jalan tetapi juga bagi lingkungan itu sendiri.
Kata Kemacetan sendiri adalah situasi atau keadaan terganggu nya atau bahkan terhentinya lalu lintas di sebabkan oleh banyak nya jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan.Kemacetan banyak terjadi di kota-kota besar,terutamanya yang tidak memiliki transportasi publik yang baik dan memadai dan bisa di karenakan tidak seimbangnya kebutuhan jalan dengan kepadatan penduduk. Dan kemacetan itu sendiri sering kita temui atau bahkan kita merasakan sendiri pada jam-jam tertentu terjadi kemacetan yang tidak bisa terhindarkan lagi,namun penyebab kemacetan tidah hanya pada jam kerja atau jam sekolah bagi siswa teatapi juga tempat yang banyak banyak memiliki tempat rekreasi atau pusat perbelanjaan sehingga banyak orang yang berbondong-bondong untuk datang ke tempat-tempat keramaianseperti contoh nya saja di kota Jakarta atau Bandung.
Kemacetan dapat terjadi karena beberapa alasan:
§  Arus yang melewati jalan telah melampaui kapasitas jalan
§  Terjadi kecelakaan lalu-lintas sehingga terjadi gangguan kelancaran karena masyarakat yang menonton kejadian kecelakaan atau karena kendaran yang terlibat kecelakaan belum disingkirkan dari jalur lalu lintas,
§  Terjadi banjir sehingga kendaraan memperlambat kendaraan
§  Ada perbaikan jalan,
§  Bagian jalan tertentu yang longsor,
§  Karena adanya pemakai jalan yang tidak tahu aturan lalu lintas, spt : berjalan lambat di lajur kanan dsb.
§  Adanya parkir liar dari sebuah kegiatan.
§  Pasar tumpah yang secara tidak langsung memakan badan jalan sehingga pada akhirnya membuat sebuah antrian terhadap sejumlah kendaraan yang akan melewati area tersebut.
§  Pengaturan lampu lalu lintas yang bersifat kaku yang tidak mengikuti tinggi rendahnya arus lalu lintas.

Kemacetan lalu lintas memberikan dampak negatif yang besar yang antara lain disebabkan:
§  Kerugian waktu, karena kecepatan perjalanan yang rendah
§  Pemborosan energi, karena pada kecepatan rendah konsumsi bahan bakar lebih rendah,
§  Keausan kendaraan lebih tinggi, karena waktu yang lebih lama untuk jarak yang pendek, radiator tidak berfungsi dengan baik dan penggunaan rem yang lebih tinggi,
§  Meningkatkan polusi udara  karena pada kecepatan rendah konsumsi energi lebih tinggi, dan mesin tidak beroperasi pada kondisi yang optimal,
§  Meningkatkan stress  pengguna jalan,
§  Mengganggu kelancaran kendaraan darurat seperti ambulans, pemadam kebakaran dalam menjalankan tugasnya.

6.      Budaya Membaca
Membaca merupakan salah satu metode yang kerap dilakukan oleh manusia untuk dapat meningkatkan kecerdasan, mengakses informasi dan juga memperdalam pengetahuan dalam diri seseorang. Dengan memahami dan mengerti isi dari sebuah bacaan, seseorang akan mendapatkan banyak keuntungan untuk memperluas cakrawala berpikir dengan sedikit usaha dan modal yang relatif sedikit. Kegiatan ini sering kali dihubungkan dengan faktor-faktor kesuksesan seseorang dalam berpikir dan bertindak karena pada umumnya mereka yang gemar membaca dapat bertindak lebih sistematis dan berpikir secara kritis dalam menyikapi permasalahan yang dihadapi.
Kebiasaan membaca juga sering dikaitkan dengan seorang pemimpin. “A good leader is a reader, seorang pemimpin yang baik adalah seorang pembaca,” demikian kata-kata bijak yang sering dikutip oleh banyak pemimpin. Kualitas seorang pemimpin banyak ditentukan oleh tingkat intelektualitas dirinya. Sementara indikator intelektualitas seseorang tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan dan tingkat pendidikan tetapi juga dilihat dari kebiasaan yang dilakukan sehari-hari. Hal ini bukan hanya untuk indikator intelektualitas tetapi juga berkaitan dengan karakter dan kepribadian. Seorang pemimpin yang pembaca sudah jelas menunjukkan sikap kesediaan terus belajar, terus mau menimba ilmu dan mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya. Seorang pembacalah yang selalu siap bertumbuh dan berkembang.
Negara-negara maju semisal Jepang kegiatan membaca menjadi sebuah budaya positif  yang dilakukan oleh masyarakatnya. Dimulai sejak lebih dari seabad yang lalu saat restorasi Meiji, para pemimpin saat itu mulai menerjemahkan buku-buku asing dari seluruh dunia terutama Amerika dan Eropa. Tidak peduli di manapun mereka berada, mulai dari anak-anak, remaja hingga orang dewasa akan terlihat sedang membaca buku di dalam kereta, stasiun maupun airport. Hal ini tentu menjadi identitas mereka di mata dunia selain sebagai masyarakat pekerja keras. Orang-orang Jepang memang terkenal sebagai masyarakat yang “kutu buku” dalam cerita-cerita yang berkembang di dunia internasional yang mana dibuktikan dengan fakta bahwa tiap tahun lebih dari 1 miliar buku dicetak..
Indonesia sebagai negara berkembang sayangnya tidak mempunyai kebudayaan membaca seperti halnya Jepang. Menurut laporan dari Badan Pusat Statistik berkenaan dengan perilaku sosial budaya di dalam masyarakat diketahui persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang membaca surat kabar atau majalah sebesar 18.94% pada tahun 2009 atau turun dari angka sebelumnya sebesar 23.46% pada tahun 2006. Tentu saja ini merupakan berita yang menyedihkan bagi Negara berkembang yang ingin maju.

7.      Budaya Baca Indonesia

Indonesia merupakan sebuah Negara yang memiliki kemajemukan budaya. Latar belakang sebagai sebuah Negara kepulauan membuat setiap daerah memiliki kekhasan dalam nilai budaya yang dianut. Namun, semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua dan budaya gotong royong dapat mengikis rasa primordialisme yang sangat berpotensi timbul di tengah masyarakat yang cenderung heterogen.
Indonesia boleh disebut mengalami cultural lost, budaya yang hilang atau budaya yang terlampaui dalam konteks budaya baca. Maksudnya, tatkala kita secara sadar dalam era Indonesia merdeka mau membangun tradisi baca, tiba-tiba kita dihadapkan dengan budaya baru dari negara maju yang menggunakan sarana audio visual (radio dan televisi). Hantaman budaya televisi membuat kita sulit mengembangkan budaya baca, belum lagi karena kebijakan yang dinilai tidak memihak budaya baca, seperti keterbatasan bacaan dan mahalnya bacaan, seperti suratkabar dan buku.

8.      Budaya Tolong-menolong

Manusia adalah makhluk sosial yang saling perlu dan memerlukan antara satu sama lain. Sejak dilahirkan sehingga akhir hayat, memberi dan menerima pertolongan merupakan dua hal yang biasa bagi seorang manusia yang normal. Semasa masih bayi lagi, seseorang memerlukan pertolongan dari orang sekeliling, seperti makan, minum dan lain seumpamanya. Manusia dan orang-orang sekitarnya dua elemen yang tidak boleh dipisahkan dalam memastikan kesempurnaan dan kelangsungan kehidupan. Jadi, oleh karena itu menolong dan ditolongi merupakan suatu tindakan mulia yang harus ada didalam diri manusia.
Sebagai orang Indonesia, budaya tolong menolong merupakan sesuatu yang sangat lazim dan akrab dengan kehidupan kita. Budaya tolong menolong ini sudah dari dulu dipraktekkan oleh orang tua atau nenek moyang kita. Sebagai contoh, kita sebut saja gotong royong, karena dari dahulu gotong royong telah menjadi identitas budaya dan gaya hidup orang Indonesia. Gotong royong ada dan muncul dari masyarakat tradisional, dimana masyarakat pada saat itu secara bersama-sama, saling membantu dan bergantian  menggarap tanah, mencangkul, menanam benih, mengatur saluran air, memupuk, memanen tanaman mereka bahkan untuk pekerjaan-pekerjaan yang lainnya, seperti membangun rumah, dll. Didalam gotong royong masyarakat menunjukkan suatu tindakan yang dilakukan bersama-sama dan saling, yaitu saling membantu dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan diatas.

9.      Budaya Internet di Indonesia
Internet sudah merambah ke sana ke mari. Ia pun sudah masuk dalam pelosok-pelosok. dan ditambah banyaknya warnet-warnet (warung internet) dalam perbatasan desa-kota, serta sekolah dan lebih lagi dekat-dekat perguruan tinggi. Namun bagus dari internet ini untuk menambah wawasan serta informasi dari sekitar dunia, namun buruknya untuk sekarang-sekarang biasanya menjadi favorit yaitu game-game online yang mulai memperdayai anak sekolah, mahasiswa serta anak bocah pun sudah ada yang menggila akibat dari game online tersebut yang mengakibatkan lalai dari segalanya. mereka semua tenggelam dalam lautan maya yang tanpa batas.
Dengan adanya internet mungkin memang membuat kita menjadi semakin baik dalm informasi, cerdas, tapi disisi lain semakin tidak bisa membedakkan antara kenyataan dan khayalan diri sendiri. situs jejaring sosial bukan menjadi media komunikasi malah menjadi tempat hiburan yang mempermainkan kata-kata yang menghamburkan tanpa makna. Game dan chatting hanyalah membunuh waktu-waktu yang semestinya produktif. Jadilah kita menggejalakan sakit jiwa. memecahkan masalah nyata dalam hidup memang tidak mudah karena terlalu lama bergelut informasi yang melimpah tak beraturan. Budaya prasangka dengan mudah menghampiri yang tidak bisa membedakkan antara kenyataan dengan khayalan.
Itulah budaya internet yang ada dari bangsa kita, yang merupakan sudah menjadi kebiasaan untuk bermalas-malas. Oleh sebab itu rata-rata dari kita belum siap untuk menjadi pelaku budaya internet yang baik. Dan perlu kita sadari bahwa internet secara tidak langsung telah memperbudak diri sehingga menjadi pencandu berat. Untuk itu kita harus pintar-pintar dalam memilih informasi dan dan sama-sama mencari solusi untuk merubah budaya internet dari Indonesia.

10.  Budaya Berpacaran

Sebagaimana yang telah kita ketahui istilah pacaran ini dulu sangatlah asing dan tak dikenal oleh para remaja seperti sekarang ini, namun pada dewasanya pacaran sudah merebak bak jamur di musim penghujan baik itu dalam lingkup kota maupun desa pada kalangan remaja di abad ini. Para remaja ini seolah membuat suatu tradisi kebudayaan baru yang dalam hal ini mengusung pacaran sebagai suatu budaya pada masanya.
 Sebenarnya mungkin itu adalah sautu kewajaran yang biasa dalam pergaulan remaja kini bahkan pacaran ini sekarang dianggap sebagai suatu kewajiban dalam prosesi pergaulan mereka. Padahal ketika dahulu prosesi pacaran ini tidaklah ada bahkan khususnya di Indonesia, pacaran itu dianggap sebagai suatu hal yang dianggap tabu dan bahkan sangat dilarang karena tidak sejalan dengan nilai dan norma khususnya dalam pandangan agama yang pada saat itu sifatnya sangat mengikat kuat terhadap masyarakat.
Lalu kenapa pacaran sekarang seolah menjadi tradisi yang sudah tak mungkin lepas dari kehidupan remaja? Sebelum membahas hal tersebut, kebudayaan sebagaimana yang telah kita ketahui adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa manusia atau dalam pengertian lain, yakni berupa keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar. sedangkan pacaran menurut para remaja sendiri adalah suatu ikatan perasaan cinta dan kasih antara dua individu yakni lelaki dan perempuan untuk menjalin suatu hubungan yang lebih dekat yang pada esensinya untuk saling mengena lebi jauh untuk menuju proses upacara sacral (menikah) atau untuk mencari pasangan hidup yang dianggap cocok.
Maka dari pendefinisian itulah pacaran dinggap sebagi salah satu budaya masyarakat khususnya remaja karena merupakan hasil ide, gagasan, dan aktivitas tingkah laku keseharian mereka. Sehingga pada efeknya sekarang banyak para remaja menganggap bahwa pacaran merupakan suatu hal yang wajib sebagai jalan mendapat jodoh. Pada awalnya pacaran ini merupakan seperti yang telah dikemukakan diatas sebagai prosesi mengenal satu sama lain dengan cara mengikat dan menyatakan hubungan mereka kedalam bentuk yang bisa dikatakan formal agar dapat mengenal secara intim.
Namun pada perkembangannya pacaran disini seolah menjadi mode, bila seorang belum pernah pacaran bisa dikatakan ketinggalan zaman. Hal seperti itulah kiranya yang membuat remaja membangun persepsi wajibnya pacaran bagi kalangan mereka. Kegiatan pacaran ini sebenarnya implikasi dari rasa kebutuhan seseorang atau lebih karena kekurangan mereka dalam mendapat perhatian dan pengertian sebagai makhluk sosial, sehingga timbulah suatu kekuatan atau dorongan alasan yang menyebabkan orang tersebut bertindak untuk memenuhi kebutuhannya, dalam hal ini pacaran.
Adapun pada dasarnya sekarang motif sosiogenetis yang asalnya hanya menekankan pada individu untuk ingin dimengerti orang banyak menjadi ingin diakuinya individu pada daerah tersebut. Sebagai contohnya hari ini seseorang akan merasa dirinya minder terhadap orang lain yang mempunyai pasangan (pacar) sedangkan ia tidak.
Sehingga dapat di gambarkan sebagai berikut: Kebutuhan Motive Perilaku Bersosial Pengakuan sosial Pacaran Sehingga pada penilaian diatas lingkungan sosial sudah barang tentu sangat mempengaruhi seseorang. Terkait masalah lingkungan sosial yang terjadi, ternyata pacaran sendiri sebenarnya sudah diperkenalkan kepada para remaja antara lain karena pengaruh keluarga khususnya keluarga perkotaan.
 Dimana sebagian orang tua menganggap jika ingin mendapatkan pasangan hidup yang cocok baiknya harus saling mengenal secara lebih intim lebih dahulu untuk mengetahui sifat-sifatnya seperti apa, apakah akan sejalan dan cocok ataukah tidak dengan menggunakan pacaran sebagai jembatan prosesi tersebut. Akibatnya sekarang dengan adanya dorongan itupun pacaran akhirnya berkembang dari suatu budaya menjadi sebuah tradisi. Budaya pacaran ini pada masyarakat Indonesia dulu tidak terlalu berkembang melesat seperti sekarang.
Salah satu hal yang menjadikan budaya pacaran ini menjadi tradisi adalah pada khalayak remaja adalah tak lain karena pengaruh media teknologi abad sekarang yang selama ini serta merta menyoroti kegiatan-kegiatan remaja yang di dalamnya lebih banyak terfokus kepada pacaran tersebut. Sehingga pada efeknya melalui media para remaja menganggap pacaran sebagai tren atau mode berbudaya pada abad ini. Awalnya pacaran tidak semudah itu merangsek masuk kedalam culture masyarakat Indonesia karena dianggap tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat khususnya umat beragama Islam.
Akan tetapi pacaran yang sebelumnya orang menganggap sebagai sosiopatik atau sakit secara sosial karena menyimpang terhadap norma, sekarang perlahan melumer dan berakulturasi dengan budaya lingkungan sekitar yang karena pengaruhnya ini dibantu oleh media sebagai produk kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi pada masyarakat modern yang dimana amalgamasi (sambungan, campuran, keluluhan) yang kompleks terjadi dan menghasilkan pacaran sebagai sebuah tradisi kebudayaan pada para remaja khususnya pada perkotaan.
 Maka dalam hal ini menganggap bahwa pacaran juga merupakan tingkah laku yang dahulu dianggap menyimpang terhadap norma, yang kemudian sejatinya sekarang menjadi meluas pada masyarakat sehingga berlangsunglah deviasi situasional yang kumulatif. Akan tetapi sebenarnya pacaran tidaklah terlalu menyimpang terlalu jauh selama para remaja masih bisa memegang teguh terhadap nilai budaya masyarakat yang ada.
 Sebagai kesimpulan akhir bahwa pacaran pada buktinya menyatakan adanya inter-dependensi (saling ketergantungan) atau ada ketergantungan-organik diantara disorganisasi social dan pribadi sehingga mempengaruhi kebudayaan sebelumnya pada kebudayaan sekarang dengan mengaitkan pacaran sebagai budaya dan tradisi kontemporer. Pacaran ini pun pada esensinya sangat dipengaruhi oleh media sebagai hasil teknologi yang menyebabkan proses asimilasi menjadi begitu mudah karena lingkup asimilasi kini menjangkau pada ideologi dan budaya setiap individu dengan kemungkinan waktu bersamaan secara kumlatif atau menyeluruh, sehingga terjadilah anggapan ataupun pandangan masyarakat khususnya remaja mengenai pacaran sebagai prosesi kehidupan yang harus dicoba dan dilalui.

11.  Budaya Gotong Royong di Indonesia

Gotong royong adalah salah satu budaya bangsa yang membuat Indonesia, dipuji oleh bangsa lain karena budayanya yang unik dan penuh toleransi antar sesama manusia.Ini juga merupakan salah satu faktor yang membuat Indonesia bisa bersatu dari Sabang hingga Merauke, walaupun berbeda agama, suku dan warna kulit.
Ciri khas bangsa Indonesia salah staunya adalah gotong royong, kita mengetahui bahwa modernisasi dan globalisasi melahirkan corak kehidupan yang sangat kompleks, hal ini seharusnya jangan sampai membuat bangsa Indonesia kehilangan kepribadiannya sebagai bangsa yang kaya akan unsur budaya. Akan tetapi dengan semakin derasnya arus globalisasi mau tidak mau kepribadian tersebut akan terpengaruh oleh kebudayaan asaing yang lebih mementingkan individualisme.Sesungguhnya budaya gotong-royong merupakan kekuatan besar budaya masyarakat yang perlu dikembangkan terus di negeri ini”.
Gotong Royong yang sudah Terpinggirkan
Indonesia merdeka karena adanya semangat gotong royong, kebersamaan dan bahu membahu. Setelah reformasi semangat tersebut seperti agak ditinggalkan. Salah satu penyebabnya adalah penggunaan uang atau dana sebagai tolok ukur yang cukup untuk partsipasi dalam kegiatan kemasyarakatan.
Di beberapa desa bahkan secara nyata uang menjadi perusak semangat gotong royong warga desa. Kehadiran dalam sebuah kebersamaan pun terkadang diwakili dengan uang. Tidak hadir ronda cukup bayar denda. Tidak hadir dalam pertemuan cukup titip uang iuran. Tidak ikut kerja bakti cukup memberi sumbangan.
Program pemerintah dengan bantuan beras miskin (raskin) yang  kurang tepat sasaran dan dilaksanakan tanpa sebuah kebijaksanaan dalam permusyawaratan telah menjadikan alasan beberapa kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan raskin, sedang mereka merasa miskin, akhirnya tidak mau lagi ikut kerja bakti. ”Mereka yang dapat raskin aja yang suruh kerja bakti,” katanya.
Dalam banyak peristiwa terorisme akhir-akhir ini salah satu penyebab tidak berjalannya pengawasan masyarakat adalah sudah mulai lunturnya semangat gorong royong. Dengan kurangnya semangat gotong royong, maka masyarakat menjadi tidak peka terhadap sesuatu yang terjadi di lingkungannya. Gotong royong adalah pola pertahanan terbaik dalam masyarakat, gotong royong mampu menjadi alat komunikasi yang efektif.
Yang masih diharapkan untuk terus menjaga kegotongroyongan adalah masyarakat desa. Semoga desa mampu menjadi penjaga pilar kejayaan Pancasila dengan tetep menjaga semangat kegotongroyongan di dalam kehidupan bermasyarakat


 

Indri Devi Puspa Rini Template by Ipietoon Cute Blog Design