1. Budaya Berbahasa Indonesia di
Masyarakat
Bahasa Indonesia yang berperan sebagai
bahasa persatuan dan bahasa resmi di wilayah Republik Indonesia sudah mulai
diminati oleh penutur asing untuk dipelajari. Di luar negeri, telah banyak
universitas-universitas dan lembaga pendidikan yang mengajarkan bahasa
Indonesia kepada para mahasiswanya. Berdasarkan data yang tercatat di
Pusat Bahasa, Bahasa Indonesia telah diajarkan kepada orang asing di berbagai
lembaga, baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri misalnya, saat
ini tercatat tidak kurang dari 76 lembaga yang telah mengajarkan Bahasa
Indonesia kepada penutur asing, baik di perguruan tinggi, sekolah maupun di
lembaga-lembaga kursus.Sebagaimana sumpah pemuda 28 Oktober 1928, lahirlah
kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, juga sebagai
jati diri bangsa serta alat pemersatu yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia
yang beragam budaya dan suku dengan bahasa daerah mereka masing-masing hingga
dapat berkomunikasi dengan lancar dari satu orang ke orang lain yang berbeda suku
pula.
Namun mirisnya, bahasa Indonesia tidak
lagi menjadi populer di kalangan masyarakat, terutama muda-mudi Indonesia saat
ini. Malah Bahasa Indonesia yang benar terdengar begitu kolot di telinga
mereka. Bahasa Indonesia kini mulai ditinggalkan perlahan-lahan. Dipaksa gulung
tikar oleh bahasa gaul atau bahasa alay yang kini tengah menggurita.
Bahasa kini banyak yang dipelintir,
baik itu cara membaca atau hurufnya. Misalnya kata aku atau saya sekarang lebih
populer dengan kata gue, atau frasa apa saja boleh—yang kini tengah hangat di
kota Medan sebagai jawaban dari apa saja yang ditanya—dipelintir menjadi apa
aja boyeh. Frasa ini dianggap sebagai suatu jawaban paling sederhana bagi kaula
muda karena tidak mau berpikir rumit, sebagaimana ditulis Yulhasni penulis
spesial bidang sastra dan budaya. Kata kita juga sering digunakan untuk
menyatakan kami, padahal kami dan kita memiliki makna yang berbeda.
Di era globaisasi seperti sekarang
ini, bahasa Indonesia mendapat saingan berat dari bahasa Inggris karena semakin
banyaknya orang yang belajar serta menggunakan bahasa Inggris dalam keperluan
komunikasi lisan ataupun tulisan. Hal ini memang berpengaruh positif, yaitu
dapat mempercepat pengembangan IPTEK. Namun harus disadari pula, bahwa kalau
ingin belajar bahasa Inggris, jangan lupa untuk mempelajari bahasa Indonesia
terlebih dahulu.
2. Budaya membuang sampah sembarangan
Satu hal yang diajarkan sejak umur
dini sampai tuapun masih saja banyak yang menyepelekannya. Kita dari kecil
diajarkan apa itu tempat sampah, yaitu tempat untuk meletakkan sampah kita,
sehingga ada tempat untuk sampah agar tidak tercecer di tempat yang bukan
semestinya. Tapi apa yang saya lihat di kenyataan sekarang ini, jauh dari kata
penerapan edukasi. Sepertinya pelajaran membuang sampah pada tempatnya hanya
berlaku di bangku sekolah saja, tidak berlaku dan diterapkan di lain tempat.
Padahal masyarakat tahu betul dampak
buruk dari tindakan membuang sampah sembarangan, selain merusak pemandangan
juga menimbulkan bencana banjir bahkan dari bencana ini bisa merenggut nyawa
seseorang, misalnya tenggelam, atau karena penyakit yang ditimbulkan karena
kotornya lingkungan dampak dari banjir. Dengan adanya bukti dan fakta seperti
ini pun juga tidak menyadarkan masyarakat akan kesadaran diri peduli terhadap
lingkungan, dimulai dari membuang sampah pada tempat sampah.
Membuang sampah pada tempatnya
merupakan sesuatu yang harus dibiasakan agar menjadi suatu kebiasaan baik,
kalau memang belum dibiasakan dan menyadari arti pentingnya, seseorang belum
akan aware untuk membuang sampah mereka pada tempatnya. Saya sadari betul ini
merupakan tindakan sederhana namun sulit dalam pencapaian aktualnya. Tindakan
membuang sampah pada tempatnya yang harusnya menjadi budaya, malah sebaliknya,
buang sampah sembarangan menjadi budaya masyarakat sekarang. Mereka hanya
berteriak ke pemerintah setempat karena kawasannya banjir, kawasannya kumuh,
kotor banyak terjangkit penyakit.
3. Budaya Menyontek
Menyontek bukanlah penyakit akut yang
'ujug-ujug' datang dan menjangkiti pelajar di Indonesia. Kebiasaan menyontek
sudah ada sejak dahulu. Jika kebiasaannya bagus, mungkin bisa dilanjutkan.
Tetapi menyontek bukanlah budaya bangsa yang beradab, karena menyontek
merugikan orang lain.
Secara langsung, menyontek merampas
hak orang lain yang sudah berbuat jujur. Namun sayang, menyontek semakin
menjamur dan boleh dibilang sudah menjadi penyakit budaya di negeri ini.
Penyakit budaya yang kronis yang sebenarnya kemunculannya bukan baru-baru ini.
Tetapi menyontek itu suatu penyakit yang kronis yang sudah sejak jaman dulu.
Susahnya menyembuhkan penyakit kronis ini adalah menghilangkan akarnya.
Karena sumber penyakit menyontek bukan
virus dan bukan bakteri yang bisa saja diguyur obat langsung mati. Tetapi
penyakit menyontek penyebabnya adalah manusia, yang tidak bisa semudah itu
dimusnahkan namun jika tidak dimusnahkan akan menjamur. Jadi solusinya adalah
membunuh pemikiran manusianya. Kalaupun tidak bisa dimusnahkan, setidaknya bisa
dieliminir sedikit demi sedikit. Siapa mengeliminir penyakit nyontek?
Ditelusuri lagi, siapa dan apa sebabnya berbuat curang.
Siapa yang menyontek? Jelas, yang menyontek
adalah siswa atau mahasiswa. Tidak semua siswa atau mahasiswa yang mau
menyontek. Ada yang bilang mereka yang tidak percaya diri yang melakukannya.
Bisa jadi pernyataan ini benar. Banyak contohnya masalah ini. Namun percaya
diri saja tidak cukup. Pandangan hidup yang dipegang teguh si anak juga sangat
mempengaruhinya. Ada tidak percaya diri atau menyadari dirinya tidak mampu
secara akademik. Tetapi karena yakin bahwa berbuat curang itu dilarang dalam
agamanya dan dia meyakini ada Yang Maha Mengetahui dan yakin ada yang Maha Menolong,
bisa dipastikan curang tidak akan dia lakukan. Meskipun resikonya akan tidak
lulus. Kenyataannya, ternyata pelaku curang itu tidak hanya siswa saja. Guru
juga ikut serta. Untuk yang satu ini saya tidak habis pikir bagaimana seorang
guru, orang yang bisa digugu dan ditiru, ternyata mengajarkan curang kepada
siswanya. Atau, jangan-jangan sang guru juga suka menyontek ketika dulunya
menjadi pelajar, sehingga dengan mudahnya berbuat curang. Bukan rahasia lagi
jika ada guru yang sekolah di universitas ternyata juga nyontek. Pun bukan
rahasia lagi jika ada seorang guru yang supaya lulus, skripsinya bukan hasil
karyanya. Melihat yang seperti ini, tidak heran jika kemudian ketika menjadi
guru mengajari siswanya untuk mencontek. Ada lagi 'agen' yang diduga sumber
kecurangan. Bimbingan belajar. Masalah ini bukan rahasia lagi. Guru mengajar di
Bimbel, memberi latihan, ketika ulangan harian soal dikeluarkan lagi. Ternyata
model guru yang saya ceritakan ketika saya SD masih ada juga di kota.
Mengapa mereka menyontek atau berbuat curang?
Satu kata saja, 'tuntutan' yang membuat mereka berbuat curang. Tuntutan
mendapat nilai bagus dan tuntutan agar siswanya mendapat nilai bagus inilah
yang sebenarnya menjadi masalah. Jika dijabarkan lagi, sumber tuntutan dilihat dari
perspektif si anak yang menyontek, tuntutan bisa dari keluarga, guru atau pihak
sekolah, masyarakat dan negara. Orangtua menuntut nilai sekolah anak harus
tinggi. Mungkin sudah lumrah meski tidak bisa dibenarkan. Ambisi orangtua atau
harapan orang tua supaya anaknya berhasil bisa jadi sebuah tuntutan yang
memberatkan si anak. Oleh karenanya, sebaiknya orangtua juga introspeksi diri
dulu sebelum menuntut anaknya. Apakah dulu ketika muda kemampuannya sama dengan
si anak? Jika tidak, harusnya bisa lebih memahami kemampuan anak. Sebaliknya,
jika kemampuan anak memang tidak seperti orangtuanya ketika di waktu muda,
tanyakan ke pasangan kita apakah kondisinya sama dengan anak atau lebih baik.
Jika sama, harusnya memaklumi. Apabila tidak, bukan berarti kemudian layak
untuk menuntut, tetapi segera mencari cara bersama agar keluarga bisa memberi
dukungan supaya si anak lebih baik. Dan yang jelas, solusinya juga harus
mengedepankan kejujuran sehingga anak juga akan memiliki karakter jujur. Jika
yang menuntut nilai bagus itu guru atau pihak sekolah, mungkin juga masih bisa
dimaklumi.
Tetapi tidak selayaknya seorang guru
memiliki tuntutan agar siswa/mahasiswanya mendapatkan nilai tinggi. Kewajiban
guru/dosen hanyalah mendidik dan mentrafser ilmunya dengan sabar supaya siswa/mahasiswa
bisa memahami. Apabila ternyata siswa/mahasiswa nilainya jelek, ajak bicara
baik-baik. Jadikan siswa/mahasiswa yang nilainya jelek itu menjadi manusia yang
tetap dihormati hingga mereka tidak patah semangat dan akhirnya mengambil jalan
pintas dengan cara menyontek. Lebih penting lagi, beri apresiasi yang tinggi
pada anak yang sudah berbuat jujur. Dengan cara ini, anak-anak yang
berkemampuan rendah, tidak akan malu jika nilainya jelek. Jika masyarakat yang
menuntut anak memiliki nilai bagus, sepertinya mereka tidak layak menghukumi
anak-anak yang nilainya jelek. Tetapi memang agak sulit menghentikan tuntutan
masyarakat. Karena merekalah yang menciptakan sistem nilai itu. Nilai jika anak
nilai NEMnya jelek dianggap bodoh dan tidak bermanfaat di masyarakat.
Masyarakat hanya berorientasi kepada
nilai akademik, tidak naik kelas, dan kelulusan saja. Tekanan masyarakat untuk
menjadi anak baik dan anak manis yang baik-baik saja di sekolah mungkin perlu
dibenahi. Seharusnya tidak hanya menuntut anak baik, rajin belajar, tetapi juga
anak yang perilakunya baik, termasuk di dalamnya jujur. Sering kan kita dengar,
"Si Fulan itu pulangnya malam. tapi dia juara kelas lho". Selesai,
pulang malampun tidak jadi masalah karena juara kelas. Ini kondisi kita saat
ini. Bagaimana jika negara yang menuntut agar siswa memiliki nilai bagus.
Sepertinya negara perlu introspeksi diri.
Sudahkah memberikan yang terbaik bagi
anak negeri? Tidak hanya menyediakan sekolah saja, tetapi menyediakan
lingkungan yang baik, yang aman, nyaman, tentram bagi anak-anak sehingga mereka
terjauh dari segala tindakan yang tidak kita inginkan. Jika sudah layak negara
ini menuntut apa-apa kepada anak bangsa. Tetapi jika masih banyak sekolah yang
roboh, masih banyak anak yang berada di lingkungan buruk, masih banyak anak
yang dibiarkan melihat kejahatan karena negara sudah tidak mampu lagi
menciptakan rasa aman dan nyaman bagi warga negaranya, jangan pernah berharap
warga negaranya menjadi oang yang bermoral baik.
4. Budaya Merokok di Indonesia
Merokok merupakan hal yang wajar di
Indonesia. Hal ini dikarenakan selain harga yang sangat terjangkau, rokok juga
mudah dibeli baik itu di supermarket maupun di pedagang kaki lima yang biasa
berjualan di sepanjang jalan. Masyarakat Indonesia cenderung tidak mau tahu
akan bahaya rokok itu sendiri padahal sudah jelas tertulis di bungkus rokok
tersebut “Merokok dapat menyebabkan………………….”.
Di Indonesia sendiri rokok sudah
menjadi tren yang tidak pernah luput dari pengamatan. Bahkan seorang balita
umur 2 tahun menghebohkan berita internasional karena kedapatan merokok dengan
sepengetahuan orang tuanya dan tidak ada tindakan pencegahan. Ketika yang
seharusnya rokok dikonsumsi oleh kalangan 18 tahun ke atas, tetapi banyak
remaja yang sudah merokok yang umurnya belum mencapai 18 tahun.
Tindakan pencegahan/pembatasan
produksi rokok dalam negeri yang dilakukan oleh pemerintah di nilai tidak
efektif. Hal ini dikarenakan produsi rokok dalam negeri banyak mendatangkan
devisa bagi negara. Selain itu, apabila perusahaan rokok dalam negeri ditutup,
maka akan menimbulkan pengangguran dalam jumlah yang sangat besar sehingga
angka pengangguran akan naik dan inilah yang dihadapi oleh pemerintah
Indonesia.
5. Budaya Macet
Seperti yang telah kita ketahui di
saat ini peristiwa kemacetan seakan-akan menjadi sebuah budaya yang sulit
terhindarkan khusus nya untuk negara Indonesia ini.Mungkin perlu adanya sebuah
gerakan atau tindakan untuk mengurangi kemacetan ini karna dampak yang akan
terjadi akibat kemacetan ini juga tidak hanya pada kondisi fisik dari pengguna
jalan tetapi juga bagi lingkungan itu sendiri.
Kata Kemacetan sendiri
adalah situasi atau keadaan terganggu nya atau bahkan terhentinya lalu lintas
di sebabkan oleh banyak nya jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan.Kemacetan
banyak terjadi di kota-kota besar,terutamanya yang tidak memiliki transportasi
publik yang baik dan memadai dan bisa di karenakan tidak seimbangnya kebutuhan
jalan dengan kepadatan penduduk. Dan kemacetan itu sendiri sering kita temui
atau bahkan kita merasakan sendiri pada jam-jam tertentu terjadi kemacetan yang
tidak bisa terhindarkan lagi,namun penyebab kemacetan tidah hanya pada jam
kerja atau jam sekolah bagi siswa teatapi juga tempat yang banyak banyak
memiliki tempat rekreasi atau pusat perbelanjaan sehingga banyak orang yang
berbondong-bondong untuk datang ke tempat-tempat keramaianseperti contoh nya
saja di kota Jakarta atau Bandung.
Kemacetan dapat terjadi karena
beberapa alasan:
§ Arus yang melewati jalan
telah melampaui kapasitas jalan
§ Terjadi kecelakaan
lalu-lintas sehingga terjadi gangguan kelancaran karena masyarakat yang
menonton kejadian kecelakaan atau karena kendaran yang terlibat kecelakaan
belum disingkirkan dari jalur lalu lintas,
§ Terjadi
banjir sehingga kendaraan memperlambat kendaraan
§ Ada perbaikan jalan,
§ Bagian jalan tertentu
yang longsor,
§ Karena adanya pemakai
jalan yang tidak tahu aturan lalu lintas, spt : berjalan lambat di lajur
kanan dsb.
§ Adanya parkir liar dari
sebuah kegiatan.
§ Pasar tumpah yang secara
tidak langsung memakan badan jalan sehingga pada akhirnya membuat sebuah
antrian terhadap sejumlah kendaraan yang akan melewati area tersebut.
§ Pengaturan lampu lalu
lintas yang bersifat kaku yang tidak mengikuti tinggi rendahnya arus lalu
lintas.
Kemacetan lalu lintas memberikan
dampak negatif yang besar yang antara lain disebabkan:
§ Kerugian waktu, karena
kecepatan perjalanan yang rendah
§ Pemborosan energi, karena
pada kecepatan rendah konsumsi bahan bakar lebih rendah,
§ Keausan kendaraan lebih
tinggi, karena waktu yang lebih lama untuk jarak yang pendek,
radiator tidak berfungsi dengan baik dan penggunaan rem yang lebih tinggi,
§ Meningkatkan polusi
udara karena pada kecepatan rendah konsumsi energi lebih tinggi, dan
mesin tidak beroperasi pada kondisi yang optimal,
§ Meningkatkan
stress pengguna jalan,
§ Mengganggu kelancaran
kendaraan darurat seperti ambulans, pemadam kebakaran dalam menjalankan
tugasnya.
6. Budaya Membaca
Membaca merupakan salah satu metode
yang kerap dilakukan oleh manusia untuk dapat meningkatkan kecerdasan,
mengakses informasi dan juga memperdalam pengetahuan dalam diri seseorang.
Dengan memahami dan mengerti isi dari sebuah bacaan, seseorang akan mendapatkan
banyak keuntungan untuk memperluas cakrawala berpikir dengan sedikit usaha dan
modal yang relatif sedikit. Kegiatan ini sering kali dihubungkan dengan
faktor-faktor kesuksesan seseorang dalam berpikir dan bertindak karena pada
umumnya mereka yang gemar membaca dapat bertindak lebih sistematis dan berpikir
secara kritis dalam menyikapi permasalahan yang dihadapi.
Kebiasaan membaca juga sering
dikaitkan dengan seorang pemimpin. “A good leader is a reader, seorang pemimpin
yang baik adalah seorang pembaca,” demikian kata-kata bijak yang sering dikutip
oleh banyak pemimpin. Kualitas seorang pemimpin banyak ditentukan oleh tingkat
intelektualitas dirinya. Sementara indikator intelektualitas seseorang tidak
hanya ditentukan oleh kecerdasan dan tingkat pendidikan tetapi juga dilihat
dari kebiasaan yang dilakukan sehari-hari. Hal ini bukan hanya untuk indikator
intelektualitas tetapi juga berkaitan dengan karakter dan kepribadian. Seorang
pemimpin yang pembaca sudah jelas menunjukkan sikap kesediaan terus belajar,
terus mau menimba ilmu dan mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya. Seorang
pembacalah yang selalu siap bertumbuh dan berkembang.
Negara-negara maju semisal Jepang
kegiatan membaca menjadi sebuah budaya positif yang dilakukan oleh
masyarakatnya. Dimulai sejak lebih dari seabad yang lalu saat restorasi Meiji,
para pemimpin saat itu mulai menerjemahkan buku-buku asing dari seluruh dunia
terutama Amerika dan Eropa. Tidak peduli di manapun mereka berada, mulai dari
anak-anak, remaja hingga orang dewasa akan terlihat sedang membaca buku di
dalam kereta, stasiun maupun airport. Hal ini tentu menjadi identitas mereka di
mata dunia selain sebagai masyarakat pekerja keras. Orang-orang Jepang memang
terkenal sebagai masyarakat yang “kutu buku” dalam cerita-cerita yang
berkembang di dunia internasional yang mana dibuktikan dengan fakta bahwa tiap
tahun lebih dari 1 miliar buku dicetak..
Indonesia sebagai negara berkembang
sayangnya tidak mempunyai kebudayaan membaca seperti halnya Jepang. Menurut
laporan dari Badan Pusat Statistik berkenaan dengan perilaku sosial budaya di
dalam masyarakat diketahui persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang
membaca surat kabar atau majalah sebesar 18.94% pada tahun 2009 atau turun dari
angka sebelumnya sebesar 23.46% pada tahun 2006. Tentu saja ini merupakan
berita yang menyedihkan bagi Negara berkembang yang ingin maju.
7. Budaya Baca Indonesia
Indonesia merupakan sebuah Negara yang
memiliki kemajemukan budaya. Latar belakang sebagai sebuah Negara kepulauan
membuat setiap daerah memiliki kekhasan dalam nilai budaya yang dianut. Namun,
semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua
dan budaya gotong royong dapat mengikis rasa primordialisme yang sangat
berpotensi timbul di tengah masyarakat yang cenderung heterogen.
Indonesia boleh disebut mengalami
cultural lost, budaya yang hilang atau budaya yang terlampaui dalam konteks
budaya baca. Maksudnya, tatkala kita secara sadar dalam era Indonesia merdeka
mau membangun tradisi baca, tiba-tiba kita dihadapkan dengan budaya baru dari
negara maju yang menggunakan sarana audio visual (radio dan televisi). Hantaman
budaya televisi membuat kita sulit mengembangkan budaya baca, belum lagi karena
kebijakan yang dinilai tidak memihak budaya baca, seperti keterbatasan bacaan
dan mahalnya bacaan, seperti suratkabar dan buku.
8. Budaya Tolong-menolong
Manusia adalah makhluk sosial yang
saling perlu dan memerlukan antara satu sama lain. Sejak dilahirkan sehingga
akhir hayat, memberi dan menerima pertolongan merupakan dua hal yang biasa bagi
seorang manusia yang normal. Semasa masih bayi lagi, seseorang memerlukan
pertolongan dari orang sekeliling, seperti makan, minum dan lain seumpamanya.
Manusia dan orang-orang sekitarnya dua elemen yang tidak boleh dipisahkan dalam
memastikan kesempurnaan dan kelangsungan kehidupan. Jadi, oleh karena itu
menolong dan ditolongi merupakan suatu tindakan mulia yang harus ada didalam
diri manusia.
Sebagai orang Indonesia, budaya tolong
menolong merupakan sesuatu yang sangat lazim dan akrab dengan kehidupan kita.
Budaya tolong menolong ini sudah dari dulu dipraktekkan oleh orang tua atau
nenek moyang kita. Sebagai contoh, kita sebut saja gotong royong, karena dari
dahulu gotong royong telah menjadi identitas budaya dan gaya hidup orang
Indonesia. Gotong royong ada dan muncul dari masyarakat tradisional, dimana
masyarakat pada saat itu secara bersama-sama, saling membantu dan
bergantian menggarap tanah, mencangkul, menanam benih, mengatur saluran
air, memupuk, memanen tanaman mereka bahkan untuk pekerjaan-pekerjaan yang
lainnya, seperti membangun rumah, dll. Didalam gotong royong masyarakat
menunjukkan suatu tindakan yang dilakukan bersama-sama dan saling, yaitu saling
membantu dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan diatas.
9. Budaya Internet di Indonesia
Internet sudah merambah ke sana ke
mari. Ia pun sudah masuk dalam pelosok-pelosok. dan ditambah banyaknya
warnet-warnet (warung internet) dalam perbatasan desa-kota, serta sekolah dan
lebih lagi dekat-dekat perguruan tinggi. Namun bagus dari internet ini untuk menambah
wawasan serta informasi dari sekitar dunia, namun buruknya untuk
sekarang-sekarang biasanya menjadi favorit yaitu game-game online yang mulai
memperdayai anak sekolah, mahasiswa serta anak bocah pun sudah ada yang
menggila akibat dari game online tersebut yang mengakibatkan lalai dari
segalanya. mereka semua tenggelam dalam lautan maya yang tanpa batas.
Dengan adanya internet mungkin memang
membuat kita menjadi semakin baik dalm informasi, cerdas, tapi disisi lain
semakin tidak bisa membedakkan antara kenyataan dan khayalan diri sendiri.
situs jejaring sosial bukan menjadi media komunikasi malah menjadi tempat
hiburan yang mempermainkan kata-kata yang menghamburkan tanpa makna. Game dan
chatting hanyalah membunuh waktu-waktu yang semestinya produktif. Jadilah kita
menggejalakan sakit jiwa. memecahkan masalah nyata dalam hidup memang tidak
mudah karena terlalu lama bergelut informasi yang melimpah tak beraturan.
Budaya prasangka dengan mudah menghampiri yang tidak bisa membedakkan antara
kenyataan dengan khayalan.
Itulah budaya internet yang ada dari
bangsa kita, yang merupakan sudah menjadi kebiasaan untuk bermalas-malas. Oleh
sebab itu rata-rata dari kita belum siap untuk menjadi pelaku budaya internet
yang baik. Dan perlu kita sadari bahwa internet secara tidak langsung telah
memperbudak diri sehingga menjadi pencandu berat. Untuk itu kita harus
pintar-pintar dalam memilih informasi dan dan sama-sama mencari solusi untuk
merubah budaya internet dari Indonesia.
10. Budaya Berpacaran
Sebagaimana yang telah kita ketahui istilah
pacaran ini dulu sangatlah asing dan tak dikenal oleh para remaja seperti
sekarang ini, namun pada dewasanya pacaran sudah merebak bak jamur di musim
penghujan baik itu dalam lingkup kota maupun desa pada kalangan remaja di abad
ini. Para remaja ini seolah membuat suatu tradisi kebudayaan baru yang dalam
hal ini mengusung pacaran sebagai suatu budaya pada masanya.
Sebenarnya mungkin itu adalah sautu kewajaran
yang biasa dalam pergaulan remaja kini bahkan pacaran ini sekarang dianggap
sebagai suatu kewajiban dalam prosesi pergaulan mereka. Padahal ketika dahulu
prosesi pacaran ini tidaklah ada bahkan khususnya di Indonesia, pacaran itu
dianggap sebagai suatu hal yang dianggap tabu dan bahkan sangat dilarang karena
tidak sejalan dengan nilai dan norma khususnya dalam pandangan agama yang pada
saat itu sifatnya sangat mengikat kuat terhadap masyarakat.
Lalu kenapa pacaran sekarang seolah
menjadi tradisi yang sudah tak mungkin lepas dari kehidupan remaja? Sebelum
membahas hal tersebut, kebudayaan sebagaimana yang telah kita ketahui adalah
hasil dari cipta, karsa, dan rasa manusia atau dalam pengertian lain, yakni
berupa keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.
sedangkan pacaran menurut para remaja sendiri adalah suatu ikatan perasaan
cinta dan kasih antara dua individu yakni lelaki dan perempuan untuk menjalin
suatu hubungan yang lebih dekat yang pada esensinya untuk saling mengena lebi
jauh untuk menuju proses upacara sacral (menikah) atau untuk mencari pasangan
hidup yang dianggap cocok.
Maka dari pendefinisian itulah pacaran
dinggap sebagi salah satu budaya masyarakat khususnya remaja karena merupakan
hasil ide, gagasan, dan aktivitas tingkah laku keseharian mereka. Sehingga pada
efeknya sekarang banyak para remaja menganggap bahwa pacaran merupakan suatu
hal yang wajib sebagai jalan mendapat jodoh. Pada awalnya pacaran ini merupakan
seperti yang telah dikemukakan diatas sebagai prosesi mengenal satu sama lain
dengan cara mengikat dan menyatakan hubungan mereka kedalam bentuk yang bisa
dikatakan formal agar dapat mengenal secara intim.
Namun pada perkembangannya pacaran
disini seolah menjadi mode, bila seorang belum pernah pacaran bisa dikatakan
ketinggalan zaman. Hal seperti itulah kiranya yang membuat remaja membangun
persepsi wajibnya pacaran bagi kalangan mereka. Kegiatan pacaran ini sebenarnya
implikasi dari rasa kebutuhan seseorang atau lebih karena kekurangan mereka
dalam mendapat perhatian dan pengertian sebagai makhluk sosial, sehingga
timbulah suatu kekuatan atau dorongan alasan yang menyebabkan orang tersebut
bertindak untuk memenuhi kebutuhannya, dalam hal ini pacaran.
Adapun pada dasarnya sekarang motif
sosiogenetis yang asalnya hanya menekankan pada individu untuk ingin dimengerti
orang banyak menjadi ingin diakuinya individu pada daerah tersebut. Sebagai
contohnya hari ini seseorang akan merasa dirinya minder terhadap orang lain
yang mempunyai pasangan (pacar) sedangkan ia tidak.
Sehingga dapat di gambarkan sebagai
berikut: Kebutuhan Motive Perilaku Bersosial Pengakuan sosial Pacaran Sehingga
pada penilaian diatas lingkungan sosial sudah barang tentu sangat mempengaruhi
seseorang. Terkait masalah lingkungan sosial yang terjadi, ternyata pacaran
sendiri sebenarnya sudah diperkenalkan kepada para remaja antara lain karena
pengaruh keluarga khususnya keluarga perkotaan.
Dimana sebagian orang tua menganggap jika
ingin mendapatkan pasangan hidup yang cocok baiknya harus saling mengenal
secara lebih intim lebih dahulu untuk mengetahui sifat-sifatnya seperti apa,
apakah akan sejalan dan cocok ataukah tidak dengan menggunakan pacaran sebagai
jembatan prosesi tersebut. Akibatnya sekarang dengan adanya dorongan itupun
pacaran akhirnya berkembang dari suatu budaya menjadi sebuah tradisi. Budaya
pacaran ini pada masyarakat Indonesia dulu tidak terlalu berkembang melesat
seperti sekarang.
Salah satu hal yang menjadikan budaya
pacaran ini menjadi tradisi adalah pada khalayak remaja adalah tak lain karena
pengaruh media teknologi abad sekarang yang selama ini serta merta menyoroti
kegiatan-kegiatan remaja yang di dalamnya lebih banyak terfokus kepada pacaran
tersebut. Sehingga pada efeknya melalui media para remaja menganggap pacaran
sebagai tren atau mode berbudaya pada abad ini. Awalnya pacaran tidak semudah
itu merangsek masuk kedalam culture masyarakat Indonesia karena dianggap tidak
sesuai dengan nilai dan norma masyarakat khususnya umat beragama Islam.
Akan tetapi pacaran yang sebelumnya
orang menganggap sebagai sosiopatik atau sakit secara sosial karena menyimpang
terhadap norma, sekarang perlahan melumer dan berakulturasi dengan budaya
lingkungan sekitar yang karena pengaruhnya ini dibantu oleh media sebagai
produk kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi pada
masyarakat modern yang dimana amalgamasi (sambungan, campuran, keluluhan) yang
kompleks terjadi dan menghasilkan pacaran sebagai sebuah tradisi kebudayaan
pada para remaja khususnya pada perkotaan.
Maka dalam hal ini menganggap bahwa pacaran
juga merupakan tingkah laku yang dahulu dianggap menyimpang terhadap norma,
yang kemudian sejatinya sekarang menjadi meluas pada masyarakat sehingga
berlangsunglah deviasi situasional yang kumulatif. Akan tetapi sebenarnya
pacaran tidaklah terlalu menyimpang terlalu jauh selama para remaja masih bisa
memegang teguh terhadap nilai budaya masyarakat yang ada.
Sebagai kesimpulan akhir bahwa pacaran pada
buktinya menyatakan adanya inter-dependensi (saling ketergantungan) atau ada
ketergantungan-organik diantara disorganisasi social dan pribadi sehingga
mempengaruhi kebudayaan sebelumnya pada kebudayaan sekarang dengan mengaitkan
pacaran sebagai budaya dan tradisi kontemporer. Pacaran ini pun pada esensinya
sangat dipengaruhi oleh media sebagai hasil teknologi yang menyebabkan proses
asimilasi menjadi begitu mudah karena lingkup asimilasi kini menjangkau pada
ideologi dan budaya setiap individu dengan kemungkinan waktu bersamaan secara
kumlatif atau menyeluruh, sehingga terjadilah anggapan ataupun pandangan
masyarakat khususnya remaja mengenai pacaran sebagai prosesi kehidupan yang
harus dicoba dan dilalui.
11. Budaya Gotong Royong di Indonesia
Gotong royong adalah salah satu budaya
bangsa yang membuat Indonesia, dipuji oleh bangsa lain karena budayanya yang
unik dan penuh toleransi antar sesama manusia.Ini juga merupakan salah satu
faktor yang membuat Indonesia bisa bersatu dari Sabang hingga Merauke, walaupun
berbeda agama, suku dan warna kulit.
Ciri khas bangsa Indonesia salah
staunya adalah gotong royong, kita mengetahui bahwa modernisasi dan globalisasi
melahirkan corak kehidupan yang sangat kompleks, hal ini seharusnya jangan
sampai membuat bangsa Indonesia kehilangan kepribadiannya sebagai bangsa yang
kaya akan unsur budaya. Akan tetapi dengan semakin derasnya arus globalisasi
mau tidak mau kepribadian tersebut akan terpengaruh oleh kebudayaan asaing yang
lebih mementingkan individualisme.Sesungguhnya budaya gotong-royong merupakan
kekuatan besar budaya masyarakat yang perlu dikembangkan terus di negeri ini”.
Gotong Royong yang sudah Terpinggirkan
Indonesia merdeka karena adanya
semangat gotong royong, kebersamaan dan bahu membahu. Setelah reformasi
semangat tersebut seperti agak ditinggalkan. Salah satu penyebabnya adalah
penggunaan uang atau dana sebagai tolok ukur yang cukup untuk partsipasi dalam
kegiatan kemasyarakatan.
Di beberapa desa bahkan secara nyata
uang menjadi perusak semangat gotong royong warga desa. Kehadiran dalam sebuah
kebersamaan pun terkadang diwakili dengan uang. Tidak hadir ronda cukup bayar
denda. Tidak hadir dalam pertemuan cukup titip uang iuran. Tidak ikut kerja
bakti cukup memberi sumbangan.
Program pemerintah dengan bantuan
beras miskin (raskin) yang kurang tepat sasaran dan dilaksanakan tanpa
sebuah kebijaksanaan dalam permusyawaratan telah menjadikan alasan beberapa
kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan raskin, sedang mereka merasa miskin,
akhirnya tidak mau lagi ikut kerja bakti. ”Mereka yang dapat raskin aja yang
suruh kerja bakti,” katanya.
Dalam banyak peristiwa terorisme
akhir-akhir ini salah satu penyebab tidak berjalannya pengawasan masyarakat
adalah sudah mulai lunturnya semangat gorong royong. Dengan kurangnya semangat
gotong royong, maka masyarakat menjadi tidak peka terhadap sesuatu yang terjadi
di lingkungannya. Gotong royong adalah pola pertahanan terbaik dalam
masyarakat, gotong royong mampu menjadi alat komunikasi yang efektif.
Yang masih diharapkan untuk terus
menjaga kegotongroyongan adalah masyarakat desa. Semoga desa mampu menjadi
penjaga pilar kejayaan Pancasila dengan tetep menjaga semangat kegotongroyongan
di dalam kehidupan bermasyarakat